Destinasi wisata: Pura Taman Ayun – The Museum Ogoh-Ogoh – Museum Rudana

Intisari: Naik Teman Bus ke Terminal Mengwi – jalan kaki dari Terminal ke Pura Taman Ayun – jalan kaki dari Pura Taman Ayun ke The Museum Ogoh-Ogoh – naik Teman Bus dari Mengwi ke Ubud lalu jalan kaki ke Museum Rudana – naik Teman Bus untuk balik ke penginapan.

    Saya bangun dengan perasaan membuncah. Salah satu impian saya saat mengunjungi Bali adalah tur dari museum satu ke museum lainnya di Bali. Saya bukan anak seni. Saya nggak bisa melukis, nggak bisa main musik, suara saya saat menyanyi pun sumbang luar biasa, tetapi saya mempunyai ketertarikan berlebih terhadap bidang tersebut. well, mimpi museum hopping itu ternyata ngg ak mudah diwujudkan karena saat saya searching untuk menyusun itinerary, dua hari sebelum berangkat ke Bali, saya dihadapkan satu fakta pahit terkait impian saya: tiket masuk museum nggak affordable buat pelancong kelas ekonomi seperti saya. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang jutaan kali, pilihan saya jauh pada Museum Antonio Blanco (yang saya kunjungi kemarin) dan Museum Rudana (yang akan saya sambangi hari ini).

    Museum Rudana akan jadi penutup liburan saya hari ini mengingat saya perlu tiga kali naik bus untuk mencapai tempat itu, sementara Pura Taman Ayun berada di Mengwi yang mana hanya perlu dua kali naik bus untuk ke sana.

    So, sekitar pukul setengah delapan, saya jalan kaki sekitar 5 menit menuju halte Teman Bus di Jalan Raya Kuta, tepat di depan Bank BPD Bali. Bus tersebut akan membawa saya menuju Sentra Parkir Kuta di mana saya akan berganti bus, dari koridor 2 ke koridor 1, yang akan mengantarkan saya menuju Terminal Mengwi. Perjalanan ke Mengwi menempuh jarak 22 kilometer yang memakan waktu sekitar 40 menit sampai 1 jam tergantung kepadatan jalan. Sesampainya di Terminal Mengwi, karena masih pagi dan cenderung teduh, saya memutuskan untuk jalan kaki saja menuju destinasi pertama saya, Pura Taman Ayun. Lagipula, saat melihat di google maps, jaraknya cukup dekat. Cuma tiga kilometer yang bisa ditempuh dalam waktu setengah jam berjalan kaki. Lagian, tenaga saya juga masih full. Dan, benar sih, saya menghabiskan waktu sekitar 30 menitan menuju tempat tersebut, dengan perjalanan yang nyaman karena nggak lewat jalan utama yang padat kendaraan dan terik matahari nggak sepenuhnya jatuh saat itu. Ruas jalan sebelah kanan benar-benar teduh.

Pura di tepi jalan

    Memasuki Jalan Ayodya tempat tujuan saya berada, saya dibuat kagum dengan penataan simpang jalannya yang mengingatkan saya pada ruas jalan di Malioboro, Yogya. Jalan yang tadinya dilapisi aspal, kini menjelma jadi susunan paving yang tampak indah dan secara otomatis menghantarkan vibe tentram. Persimpangan tersebut memiliki 4 jalan ke arah berbeda. Jalan Ayodya sendiri berada di sebelah kanan yang ditandai dengan adanya patung (nggak tahu patung siapa) dan gapura cantik di mulut jalan.

Persimpangan yang salah satunya menuju Jalan Ayodya

Patung di samping gapura Jalan Ayodya

    Sesaat setelah melewati gerbang Jalan Ayodya, saya lagi-lagi dibuat tercengang dengan betapa rapinya bangunan-bangunan yang ada di sana. suasananya juga terasa damai, nyaman, dan magis. Area pejalan kaki sangat lebar dan nggak banyak kendaraan berlalu lalang di sana. Entah karena masih pagi atau memang dibatasi. Letak Pura Taman Ayun nggak jauh dari gerbang tersebut tetapi saya nggak langsung ke tujuan saya karena ke-distract sama sebuah area cantik di sebelah kiri. Tempat tersebut berupa sebuah pemandian umum yang terletak di tepi telaga yang cukup luas, tenang, dan bersih. Area tersebut dibangun dengan gaya Bali di mana banyak ornamen-ornamen dari bebatuan serta undakan-undakan. Sayangnya, saya nggak bisa lama-lama di tempat tersebut karena hari ini saya harus ke tiga tempat berbeda.

    

Tata bangunan dan jalan asri dan rapi

    Pura Taman Ayun sendiri terletak di sebelah lain dari telaga itu. Cukup dengan lima belas ribu rupiah, kita bisa menikmati ketenangan sekaligus agungnya arsitektur pura tersebut. Saat memasuki area Pura Taman Ayun, kita akan melintasi jalan paving yang di kiri kanannya terdapat lapangan rumput luas yang amat meneduhkan mata. Di ujung jalan itu lah berdiri sebuah pura yang arsitekturnya mirip dengan Pura Taman Saraswati, tetapi pengunjung nggak boleh melintasi gerbang pura tersebut. Untuk melihat bagian dalam pura, kita bisa mengambil jalan ke sebelah kiri yang mana nantinya kita akan melihat aktivitas para umat Hindu yang tengah mempersiapkan upacara. Tentu saja kita tetap nggak bisa bergabung bersama mereka ya karena area pengunjung dan bagian dalam pura di batasi pagar batu. Yang mau berfoto dengan latar belakang bangunan atap berundak (meru) khas Bali, maka di area itulah tempatnya. Untuk deskripsi lebih rinci tentang kunjungan ke Pura Taman Ayun, akan saya bikinin di postingan tersendiri ya.

Jalan setelah memasuki area Pura Taman Ayun

Pintu utama pura. Pengunjung dilarang memasuki area pura tetapi bisa melihat aktivitas yang terjadi di dalam lewat samping

Meru ikonik yang terdapat di area dalam pura

    Tadinya, tujuan saya selanjutnya adalah Jatiluwih Rice Terraces tetapi karena saya nggak yakin ada gojek yang bisa ngantar saya balik dari sana menuju Mengwi kembali, akhirnya niat tersebut saya urungkan dan memilih untuk langsung ke Museum Rudana saja di Ubud. Di jalan pulang menuju gapura Jalan Ayodya, nggak sengaja mata menangkap tulisan “Museum Ogoh-Ogoh” dan seperti punya pikiran sendiri, kaki saya spontan mengarah ke sana. Nggak ada petunjuk jelas di mana arah masuk museum, tetapi saat melihat ada pintu yang terbuka, saya spontan saja berjalan ke sana lalu mengucap permisi. Seorang bapak-bapak paruh baya menyambut saya dan mempersilakan saya masuk. Beliau menyalakan lampu-lampu dan sontak, isi museum itu pun terpampang di depan saya. Puluhan patung raksasa berbentuk dewa-dewa dan buthakala yang dibuat sangat impresif. Nggak ada pengunjung lain selain saya jadi bapak-bapak penjaga museum dengan humble-nya menemani saya berkeliling dan menjelaskan apa itu ogoh-ogoh dan latar belakang beliau mendirikan museum ini. Beliau juga menawari saya untuk mengambil foto jika ingin karena melihat saya kerepotan sendiri dengan tripod murahan saya. Nggak ada tiket untuk berwisata di museum ini. Pun, kita boleh memoto patung-patung tersebut sesuka hati. Cuma, ada kotak donasi di samping pintu masuk. Saya sih luar biasa puas dengan kunjungan ke museum tersebut dan nggak merasa rugi kalaupun jika tiketnya dibandrol sama dengan harga tiket Museum Antonio Blanco.

Salah satu ogoh-ogoh terepik di museum

Kalau tidak membaca keterangannya, mungkin saya mengira ini adalah dewa yang sedang dilahirkan

Ogoh-ogoh favorit saya



    Setelah dari Museum Ogoh-Ogoh, saya harus langsung ke Ubud dan nggak boleh mampir ke mana-mana lagi mengingat perjalanan ke sana cukup jauh dan saat itu juga sudah beranjak tengah hari. Karena sinar matahari sudah nggak ramah lagi, dan saya juga cukup capek setelah keliling pura dan museum, saya memanfaatkan jasa gojek saja untuk mengantar saya menuju Terminal Mengwi. Dari sana, saya akan turun di Terminal Ubung, Denpasar, lalu pindah bus yang akan langsung membawa saya ke daerah Ubud.

    Perjalanan dari Mengwi ke Denpasar lalu ke Ubud memakan waktu satu jam setengah. Museum Rudana berada di Jalan Cok Rai Pudak yang untungnya, ada halte pemberhentian teman bus di dekat situ yaitu di halte Public Safety Center. Dari halte, saya hanya perlu berjalan ke selatan sekitar 500 meter untuk menuju museum.

    Museum Rudana sendiri sangat mudah ditemukan karena gerbangnya berada tepat di pinggir jalan dengan tulisan yang amat besar. Memasuki gerbang, saya berjalan ke arah pos keamanan untuk menanyakan di mana letak loket tiket lalu diarahkan ke gedung utama. Gedung bertingkat dua super besar dan mewah. Ini benar-benar terlihat seperti sebuah museum yang saya bayangkan.


Jalan masuk ke Museum Rudana. Terletak tepat di pinggir Jalan Cok Rai Pudak

    Ada beberapa anak tangga yang harus didaki untuk menuju pintu museum, sama seperti Museum Antonio Blanco, hanya saja ini lebih tinggi. Awalnya, saya nggak nemu ada loket tiket dan nggak ada siapa pun di sana jadi saya masuk saja ke dalam museum lalu mengucapkan permisi. Nggak ada sahutan. Karena saya nggak yakin apa saya langsung masuk saja atau gimana, akhirnya saya keluar lagi. Sambil menunggu ada seseorang yang datang, saya kill the time dengan mengambil foto ukiran di pintu museum (yang juga terdapat di Museum Antonio Blanco) dan patung (sepertinya Garuda Wisnu Kencana) yang ada di sudut area pintu masuk. Nggak lama kemudian, keluar lah bapak-bapak berkaca mata dan saya pun lantas menanyakan di mana tempat pembelian tiket. Ternyata, tempat pembelian tiket berada tepat di samping pintu masuk alias di meja panjang yang tadinya saya kira meja informasi. Tiket untuk masuk Museum Rudana adalah 50.000 rupiah. Dilarang mengambil foto di dalam kecuali di area yang disebut galeri, di mana terdapat lukisan-lukisan yang bisa dibeli.

    Sama seperti di dua museum lainnya yang telah saya kunjungi, saya juga merupakan satu-satunya pengunjung di Museum Rudana. Bapak-bapak pengelola museum mempersilakan saya untuk berkeliling sendirian dan memberitahu dia jika saya sudah selesai di satu section, dan saya nggak keberatan sama sekali akan hal itu karena saya bisa berlama-lama mengamati lukisan-lukisan luar biasa karya Srihadi Sudarsono (lukisan favorit saya di museum itu adalah “Pantai” karya Bapak Srihadi Sudarsono ini), Affandi, I Nyoman Gunarsa, Antonio Blanco, Sudarso, Iyama Tadayuki, Kununurra, Pasquale, I Wayan Bendi (lukisan terpanjang dan tertinggi yang pernah saya lihat. Kata pak pengelola museum, lukisan beliau baru saja dibeli seorang kolektor asal Singapura seharga 1 Milyar rupiah), I Gusti Nyoman Lempad, sampai dua buah lukisan karya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono juga ikut dipajang di sana. Sesuai mengelilingi museum yang luasnya luar biasa, saya diajak melihat-lihat karya lukisan yang dijual di galeri. Di depan galeri juga banyak pelukis lokal yang tengah menggarap karya mereka. Padahal ada banyak sekali lukisan bagus an unik di galeri tersebut tapi saya nggak memasuki semua ruangan di sana karena saya udah capek luar biasa. Para pencinta seni, terutama seni lukis, akan benar-benar dimanjakan di museum ini.

Galeri yang terdapat di basement gedung utama

Salah satu sudut di galeri

Taman di samping museum

Galeri lain yang terletak terpisah dengan gedung museum


    Tepat setengah tiga siang, saya pamit pada bapak pengelola museum dan bilang bahwa saya agak menyesal karena harus meninggalkan museum secepat ini karena belajar dari pengalaman kemarin, mencari bus menuju Kuta dari Ubud sini  bukan hal yang mudah. Kalau saya pulang terlalu sore, khawatirnya saya malah baru dapat bus menjelang maghrib atau malah pada malam hari. Yang saya khawatirkan sebenarnya hape saya sih karena kalau baterainya mati, alamat saya harus jalan kaki dari Sentra Parkir Kuta—tempat pemberhentian bus koridor 1 terakhir—menuju hotel saya.

    Untungnya, nggak sampai sepuluh menit berdiri di halte, sebuah bus datang. Sesampainya di Terminal Ubung Denpasar, saya nggak lanjut nyari bus koridor 1 ke Kuta tetapi malah melipir ke luar terminal dan menuju satu tempat yang saya lihat di google maps. Namanya Exitotreat. Sebuah kafe kecil yang menjual kue dan juga beberapa makanan berat lainnya. Saya nggak nyesal sih makan siang di sana karena chicken mentai-nya luar biasa enak. Saya juga take away beberapa potong kue (eclair, swiss roll, sama ada satu lagi saya nggak tahun namanya) untuk dimakan di kamar. Beneran gila sih kafe itu karena baik kue maupun makanan beratnya dihargai super murah. Nggak sepadan sama tampilan dan kualitas rasanya yang bintang 5. Andai nggak di Denpasar, saya pasti akan sering-sering ke sana.

My lunch. Minumnya dua karena saya super haus. Kuenya nggak dimakan di tempat karena udah kekenyangan.

    Tepat jam 4 sore, saya meninggalkan Denpasar. Singgah sebentar di Bali Jaya Mart, convenient store dekat hotel, untuk beli minum dan snack, but ended up ngeborong dupa. Hal yang paling saya rindukan dari Bali memang aroma dupa yang menguar wangi di sepanjang jalan, dan ketika saya menemukan ada yang jual sumber dari hal yang rindukan tersebut, of course, I have to take them home.

    Hari kedua saya di Bali berjalan amat sangat sempurna. Meskipun saya nggak jadi ke Jatiluwih, tetapi museum The Ogoh-Ogoh Bali adalah alternatif destinasi yang nggak mengecewakan saya sama sekali. Yang paling penting juga, hari ini nggak ada lagi drama harus nunggu bus dua jam lebih dan salah jurusan bus.

    Karena besok saya udah harus berkendara sendiri  berhubung nggak ada Teman Bus yang sampai Kuta Selatan, jadi saya harus tidur cepat biar bisa fit besok paginya.

Pengeluaran hari kedua

Tiket Pura Taman Ayun: 15.000

Donasi The Ogoh-Ogoh Bali: 50.000 (sukarela, jadi terserah aja mau ngasih berapa)

Gojek 2x: 22.000

Tiket Museum Rudana: 50.000

Lunch di Exitotreat

-          Chicken kani mentai rice: 25.000

-          Jasmine  black tea 2 gelas: 14.000

-          Eclair vanilla: 10.000

-          Milecrepes: 20.000

-          Swissroll green tea: 12.000

Makan malam (streetfood): 35.000

Beli dupa, snack, drink, dan lain-lain di minimarket: 117.000

TOTAL: Rp. 370.000