Destinasi wisata: Taman Lumintang – Museum Antonio Blanco –
Pura Taman Saraswati
Intisari: Terbang dari Banjarmasin ke Surabaya – naik bus
dari Surabaya ke Denpasar – istirahat sebentar di Taman Lumintang, Denpasar –
naik TemanBus ke Ubud Center – jalan kaki ke Museum Antonio Blanco, Ubud – naik
gojek ke Pura Taman Saraswati – naik TemanBus ke Kuta untuk check-in penginapan
di Kuta Sari House.
Hari pertama di Bali sejatinya saya mulai ketika angkutan
yang saya tumpangi dari Juanda tiba di Denpasar pada tanggal 1 Juli 2022.
Sebelumnya, saya berangkat dari Banjarmasin dengan menggunakan Citilink menuju
bandara Juanda di Sidoarjo. Kenapa saya nggak langsung terbang ke Kuta dari
Banjarmasin tentu saja berhubungan sama masalah dana yang terbatas. Yah,
sebenarnya nggak terbatas juga sih cuma rasanya sayang aja selisih ratusan ribu
dialokasikan untuk transportasi. Kan bisa buat nongkrong di kafe kece. Long story short, setelah tiba di Juanda
sekitar pukul 16.00, saya pun harus menunggu dengan jenuh sampai akhirnya si
angkutan (it’s elf, by the way)
menjemput saya sekitar pukul 18 kurang beberapa menit.
![]() |
Tampak luar bandara baru Syamsuddin Noor, Banjarbaru |
![]() |
Interior Bandara Baru Syamsuddin Noor, Banjarbaru |
Tepat pukul 09.22 (lihat di histori Google Maps), saya tiba di
Denpasar. Sebenarnya, elf tersebut bisa saja mengantarkan saya langsung ke
Kuta, tapi berhubung penginapan saya memberlakukan check-in mulai pukul 2
siang, jadi saya memutuskan untuk mengisi waktu beberapa jam tersebut dengan
memulai trip hari pertama saya. Setelah searching
sana-sini, saya pun meminta driver elf
yang saya tumpangi untuk menurunkan saya di Taman Lumintang dengan dua alasan;
satu, karena dekat dengan halte Teman Bus koridor 4 ke arah Ubud; dua, karena
yang namanya taman pasti punya toilet dong ya, dan saya pengen ganti baju dulu
sebelum jalan-jalan.
Saat memasuki Taman Lumintang, saya langsung nyari letak toilet.
Lokasinya dekat sama area kedai-kedai penjual makanan dan area panggung teater
terbuka Taman Lumintang. Toiletnya sendiri rada horor ya. Biliknya terdapat di
dalam sebuah bangungan usang semacam gudang. Wastafelnya nggak bisa dipakai.
Cerminnya butek. Banyak debu dan sarang laba-laba juga. Untungnya, saya masih bisa
tetap ganti baju di sana. Saya sih nggak ada niat buat mengeksplor taman ini
karena mirip-mirip aja sih sama taman pada umumnya. Ada area berumput yang
luas, jogging track, pepohonan yang
ditata rapi, dan warung makan. Yang ikonik dari taman ini mungkin pertunjukkan
air mancur menarinya (tapi kalau siang, air mancurnya nggak beroperasi), area
panggung teater terbuka tadi, dan favorite
spot saya, tempat nge-charge hape
yang letaknya tersembunyi di balik ornamen tembok bata. Colokannya banyak
banget, tapi tinggi. Jadi kalau nggak bawa kabel panjang, terpaksa harus
berdiri deh sambil megangin hapenya. Untungnya waktu itu kabel charger saya cukup panjang dan tas saya
cukup tinggi untuk jadi tempat naruh hape. Saya pun bisa fokus membaca novel
sembari menunggu baterai saya terisi paling nggak 50 persen.
![]() |
Area Taman Lumintang. Di belakang partisi tersebut terdapat tempat nge-charge dengan colokan yang lumayan banyak |
Pukul 09.52, saya meninggalkan Taman Lumintang setelah baterai saya terisi 60 persen. Saya jalan keluar sedikit ke arah gedung Dharma Negara Alaya yang tepat berada di samping taman. Di depan gedung tersebut, ada sebuah pemberhentian bus yang akan dilewati Teman Bus menuju Ubud. Nggak lama berdiri di sana, sebuah bus berwarna merah berhenti. Saya langsung masuk aja sih tanpa tanya-tanya. Di dalamnya, cuma ada satu penumpang. Saya sok akrab lah sama si mas-mas asli Bali tersebut sambil nanya, “ini ke Ubud kan, Mas?”. Dan seperti yang sudah bisa kalian tebak, yap! Jawabannya masnya adalah ‘bukan’. Saya salah naik bus ternyata. Alih-alih naik Teman Bus koridor 4, saya malah naik Teman Bus koridor 3 ke arah Sanur. Untungnya, halte depan juga dilalui Teman Bus koridor 4, jadilah saya diturunkan di sana. Tak sampai 3 menit, lewatlah sebuah bus berwarna merah lagi dan benar, ternyata di bagian depan bus tersebut tertera nomor koridor atau jalur yang mereka lalui. Sip. Kali ini saya menaiki bus yang benar.
![]() |
Gedung Dharma Negara Alaya |
Singkat cerita, hampir 40 menit kemudian, saya akhirnya tiba
di Ubud dan turun di halte Pura Peliatan. Nggak tepat di depan puranya sih tapi
di seberang Indomaret, sekitar 200 meter dari halte. Sialnya, saat itu hujan
turun super deras. Beberapa puluh menit pertama saya di Ubud pun saya lewati
dengan numpang berteduh di selasar Indomaret. Setelah hujan mulai reda, saya
memutuskan untuk nyari makan siang karena makanan terakhir tercatat memasuki
lambung saya pada pukul 10 tadi malam. Saya pun mulai menjelajah google maps
untuk mencari warung makan atau restoran terdekat sembari berjalan menuju Ubud
Center. Plan saya saat itu setelah
makan siang adalah mengunjungi Ubud Palace lalu Pura Taman Saraswati karena
letaknya berdekatan. Well, rencana
saya gagal semua. Saya nggak jadi makan siang karena semua tempat makan yang
saya lewati tampak fancy dan saya
nggak yakin harga makanannya terjangkau. Saya juga nggak jadi ke Ubud Palace
maupun Pura Taman Saraswati karena udah mondar-mandir ke sana kemari, tetap
nggak nemu kedua tempat itu lokasinya di mana.
![]() |
Jalan menuju Ubud Center setelah hujan |
Daripada waktu saya habis cuma buat jadi turis nyasar, akhirnya saya nerusin jalan kaki ke Museum Antonio Blanco yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki dari Ubud Center. Vibe-nya adem banget sih ya apalagi saat melewati satu ruas jalan yang mirip lorong karena diapit tembok yang cukup tinggi (sepertinya pagar) dan tampak gelap tertutup rerimbunan pepohonan. Museum Antonio Blanco sendiri nggak susah ditemukan karena banyak petunjuk arah ke sana. Letak museum tersebut berada di sebuah undakan atau bukit yang agak tinggi dengan sungai yang mengalir tenang di sebelah bawah. Di jalan masuk menuju loket museum sendiri saja banyak terdapat spot foto kece sayangnya saya lagi nggak minat selfie. Jadi saya terus saja berjalan menuju loket. Untuk memasuki museum, saya harus membayar tiket sebesar 55.000 rupiah dan akan diberi brosur berisi keterangan singkat soal museum tersebut dan peta area museum.
![]() |
Jalan keren mirip lorong menuju Museum Antonio Blanco |
![]() |
Gedung utama Museum Antonio Blanco |
![]() |
Studio Museum Antonio Blanco. Boleh foto kalo di sini |
![]() |
Jalan masuk menuju pekarangan utama gedung Museum Antonio Blanco |
![]() |
Brosur dan tiket Museum Antonio Blanco |
Saya nggak begitu lama di museum itu karena agak clueless juga sih melihat-lihat lukisan
tapi tanpa adanya pemandu yang ngejelasin maksud dari lukisan-lukisan tersebut.
Yang jelas, karya-karya Antonio Blanco kebanyakan meng-capture sosok wanita Bali zaman dulu yang pada saat itu,
normal-normal saja tanpa pakaian atas. Menurut info yang saya baca,
lukisan-lukisan di sini dibuat satu paket dengan frame-nya sehingga masing-masing lukisan akan punya bingkai yang
setema dengan isi lukisan tersebut. Dan seperti semua kebanyakan museum, di
sini juga dilarang memotret kecuali di satu ruangan yang disebut ‘studio’. Tak lama
setelah memutari ruangan utama berlantai dua tersebut, saya memutuskan untuk ke
halaman depan dan puas berfoto mumpung saya satu-satunya pengunjung di sana.
Setelah cukup puas dengan Museum Antonio Blanco, saya memutuskan
untuk memakai jasa gojek demi mengantarkan saya ke Pura Taman Saraswati yang
sebelumnya tidak bisa saya temukan lokasinya di mana. Sebuah keputusan yang
tepat tentu saja karena pura tersebut ternyata berada di belakang sebuah
restoran dan Starbucks yang mana tidak terlihat dari luar, pun tidak ada
petunjuk apapun yang menyatakan bahwa ada pura di sana.
Sore itu, Pura Taman Saraswati agak lengang. Masih ada
beberapa pasangan (iya, pasangan, yang solo kayak saya hampir nggak ada. Sad!)
yang datang berkunjung, silih berganti. Dilihat-lihat dari wajah, dari semua
pengunjung yang ada di sana saat itu, hanya saya saja yang merupakan orang
Indonesia. Kecuali ada orang Indonesia yang berwajah Kaukasia ya. Di sini, saya
nggak gitu banyak ngambil foto karena udah kecele duluan ngeliat orang-orang
pada mesra dengan pasangan masing-masing. Dan sayangnya juga, kolam lotus yang
jadi bagian ikonik dari Pura Taman Saraswati sedang tidak dipenuhi bunga-bunga
lotus yang mekar.
![]() |
Pura Taman Saraswati. Lihatlah pasangan-pasangan itu. Sungguh meng-envy-kan |
Tenaga saya sudah benar-benar di ambang kepunahan selepas
dari Pura Taman Saraswati sehingga saya, dengan berat hati, mengambil keputusan
untuk nggak ke Ubud Palace. Tapi, emang ujian banget sih. Tenaga saya justru
dikuras habis-habisan saat mau pulang karena saya nggak nemu di mana lokasi
halte Teman Bus ke arah Denpasar. Saya udah ngikutin map sampai lewat
jauuuuuuuh banget dari Ubud Center, lalu balik lagi ke sana, dan masih nggak
nemuin plang pemberhentian bus. Saat saya nanya sama petugas keamanan yang ada
di sana, bapak-bapaknya juga nggak ngasih tahu arah yang jelas. Sampai akhirnya,
saya putuskan untuk berdiri saja di halte Teman Bus arah ke Monkey Forest,
hanya untuk nanya ke driver-nya soal
di mana saya harus nunggu bus menuju Denpasar. Saat itu, ada bapak-bapak ojek
yang datang dan ngasih tahu saya kalau mau nunggu bus ke Denpasar, tunggu aja
di depan bank Mega. Fiuh! Saya pun menuju tempat yang bapak-bapak itu sebutkan.
Beliau nawarin ojek juga sih sekalian karena katanya jalanan lagi macet
sehingga bus hampir-hampir nggak terlihat lewat. Tadinya, saya anggap itu modus
sampai saya mengalami sendiri menunggu bus di pinggir jalan selama dua setengah
jam.
![]() |
Patung Dewa Indra di persimpangan Jalan Raya Ubud, Jalan Raya Andong, Jalan Cok Gede Rai |
Singkat cerita, pas ada bus, udah girang banget dong ya
karena saya literally duduk di
pinggir jalan buat nunggu si bus merah itu lewat. Dengan tas yang beratnya
minta ampun. Nah, pas saya mau masuk itu bus yang udah ditungguin kayak nunggu
jodoh, saya dilarang masuk dong sama driver-nya
karena nggak pake masker dan disuruh naik bus berikutnya. APES banget astaga! Saya
emang kehilangan masker waktu di museum tadi. Akhirnya, dengan hati gedek luar
biasa, saya jalan kaki sekitar 500 meter ke indomaret dan beli masker. Saya
balik ke depan bank, dan untungnya setengah jam kemudian, saya udah dapat bus
kembali.
Drama pertransportasian di hari pertama ini sebenarnya belum
berakhir tapi akan saya ceritain di postingan tersendiri saja. Akhirnya,
sekitar jam 5 sore, saya tiba di hotel dengan batrai handphone sisa dua persen yang untungnya masih sempet dipakai buat
nyari gojek dari halte terakhir menuju hotel.
![]() |
Kamar sederhana tapi super nyaman di Kuta Sari House |
Hari pertama yang super melelahkan ini saya tutup dengan late lunch dua bungkus nasi rames lauk
ayam bakar dan lele goreng yang super lezat.
Pengeluaran hari
pertama
(Biaya yang saya habiskan selama saya menginap di kos adik
saya sebelum berangkat ke Surabaya nggak saya masukin ya)
Travel Kotabaru –
Banjarmasin: 170.000
Tiket pesawat
Banjarmasin – Surabaya PP: 2.100.000
Travel Surabaya –
Denpasar (Indo Trans Travel): 280.000 (270.000 sebenarnya, tapi drivernya minta bayarin parkir
bandara juga 10.000)
Tiket Museum Antonio
Blanco: 55.000
Pura Taman Saraswati:
GRATIS
Teman Bus: GRATIS
Gojek dari museum ke Ubud
Center: 11.000
Gojek dari Central
Parkir Kuta ke penginapan: 11.000
Ayam (tanpa nasi):
16.500 (gofood di Warung Muslim Al Lalapan dan Soto)
Paket lele + nasi:
19.000 (gofood di Warung Muslim Al Lalapan dan Soto)
Ongkir gofood: 13.000
Beli minum, tisu, razor, snack, de el el di Indomaret:
65.500
Penginapan di Kuta
Sari House 4 malam: 425.000
TOTAL: Rp. 3.166.000
0 Comments